Archive for the ‘Tersiar’ Category

MARI PERTAHANKAN INDONESIA KITA!

Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia- an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain. Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menhancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia- an itu.

Marilah kita jaga republik kita.

Marilah kita pertahankan hak-hak asasi itu.

Marilah kita kembalikan persatuan kita.

Jakarta, 10 Mei 2008

ALIANSI KEBANGSAAN untuk KEBEBASAN BERAGAMA dan BERKEYAKINAN

A. RAHMAN TOLLENG

A. Sarjono

A. Suti Rahayu

A. SYAFII MAARIF

AA GN Ari Dwipayana

Aan Anshori

Abdul Moqsith Ghazali

Abdul Munir Mulkhan

Abdul Qodir Agil

Abdur Rozaki

Acep Zamzam Nur

Achmad Chodjim

Achmad Munjid

Ade Armando

Ade Rostina Sitompul

Adi Wicaksono

Adnan Buyung Nasution

Agnes Karyati

Agus Hamonangan

Agustinus

Ahmad Fuad Fanani

Ahmad Baso

Ahmad Fuad Fanani

Ahmad Nurcholish

Ahmad Sahal

Ahmad Suaedi

Ahmad Taufik

Ahmad Tohari

Akmal Nasery Basral

Alamsyah M. Dja’far

Albait Simbolon

Albertus Patty

Amanda Suharnoko

Amien Rais

Ana Lucia

Ana Situngkir

Anak Agung Aryawan

Anand Krishna

Andar Nubowo

Andreas Harsono

Andreas Selpa

Anick H Tohari

Antonius Nanang E.P

Ari A. Perdana

Arianto Patunru

Arief Budiman

Arif Zulkifli

Asep Mr

Asfinawati

Asman Aziz

Asmara Nababan

Atika Makarim

Atnike Nova Sigiro

Ayu Utami

Azyumardi Azra

Bachtiar Effendy

Benny Susetyo, SJ

Bivitri Susanti

Bonnie Tryana

BR. Indra Udayana

Budi Pruwanto

Christanto Wibisono

Christina Sudadi

Cosmas Heronimus

Daddy H. Gunawan

Daniel Dakhidae

Daniel Hutagalung

Djaposman S

Djohan Effendi

Doni Gahral Adian

Donny Danardono

Donny Gahral Ardian

Eep Saefulloh Fatah

Eko Abadi Prananto

Elga J Sarapung

Elizabeth Repelita

Elza Taher

Endo Suanda

Erik Prasetya

Eva Sundari

F. Wartoyo

Fadjroel Rahman

Fajrime A. Goffar

Farid Ari Fandi

Fenta Peturun

Fikri Jufri

Franky Tampubolon

Gabriella Dian Widya

Gadis Arivia

Garin Nugroho

Geovanni C.

Ging Ginanjar

Goenawan Mohamad

Gomar Gultom

Gus TF Sakai

Gustaf Dupe

Gusti Ratu Hemas

Hamid Basyaib

Hamim Enha

Hamim Ilyas

Hamka Haq

Hasif Amini

Hendardi

Hendrik Bolitobi

Herman S. Endro

Heru Hendratmoko

HS Dillon

I Gede Natih

Ichlasul Amal

Ifdal Kasim

Ihsan Ali-Fauzi

Ika Ardina

Ikravany Hilman

Ilma Sovri Yanti

Imam Muhtarom

Imdadun Rahmad

Indra J. Piliang

Isfahani

J. Eddy Juwono

Jacky Manuputty

Jajang C. Noer

Jajang Pamuntjak

Jajat Burhanudin

Jaman Manik

Jeffri Geovanie

Jeirry Sumampow

JN. Hariyanto, SJ

Johnson Panjaitan

Jorga Ibrahim

Josef Christofel Nalenan

Joseph Santoso

Judo Purwowidagdo

Julia Suryakusuma

Jumarsih

Kartini

Kartono Mohamad

Kautsar Azhari Noer

Kemala Chandra Kirana

KH. Abdud Tawwab

KH. Abdul A’la

KH. Abdul Muhaimin

KH. Abdurrahman Wahid

KH. Husein Muhammad

KH. Imam Ghazali Said

KH. M. Imanul Haq Faqih

KH. Mustofa Bisri

KH. Nuril Arifin

KH. Nurudin Amin

KH. Rafe’I Ali

KH. Syarif Usman Yahya

Kristanto Hartadi

L. Ani Widianingtias

Laksmi Pamuntjak

Lasmaida S.P

Leo Hermanto

Lies Marcoes-Natsir

Lily Zakiyah Munir

Lin Che Wei

Luthfi Assyaukanie

M. Chatib Basri

M. Dawam Rahardjo

M. Guntur Romli

M. Subhan Zamzami

M. Subhi Azhari

M. Syafi’I Anwar

Marco Kusumawijaya

Maria Astridina

Maria Ulfah Anshor

Mariana Amirudin

Marsilam Simanjuntak

Martin L. Sinaga

Martinus Tua Situngkir

Marzuki Rais

Masykurudin Hafidz

MF. Nurhuda Y

Mira Lesmana

Mochtar Pabottingi

Moeslim Abdurrahman

Moh. Monib

Mohammad Imam Aziz

Mohtar Mas’oed

Monica Tanuhandaru

Muhammad Kodim

Muhammad Mawhiburrahman

Mulyadi Wahyono

Musdah Mulia

Nathanael Gratias

Neng Dara Affiah

Nia Sjarifuddin

Nirwan Dewanto

Noldy Manueke

Nong Darol Mahmada

Nono Anwar Makarim

Noorhalis Majid

Novriantoni

Nugroho Dewanto

Nukila Amal

Nur Iman Subono

Pangeran Djatikusumah

Panji Wibowo

Patra M. Zein

Pius M. Sumaktoyo

Putu Wijaya

Qasim Mathar

R. Muhammad Mihradi

R. Purba

Rachland Nashidik

Rafendi Djamin

Raja Juli Antoni

Rasdin Marbun

Ratna Sarumpaet

Rayya Makarim

Richard Oh

Rieke Dyah Pitaloka

Rizal Mallarangeng

Robby Kurniawan

Robertus Robet

Rocky Gerung

Rosensi

Roslin Marbun

Rumadi

Saiful Mujani

Saleh Hasan Syueb

Sandra Hamid

Santi Nuri Dharmawan

Santoso

Saor Siagian

Sapardi Djoko Damono

Sapariah Saturi Harsono

Saparinah Sadli

Saras Dewi

Save Dagun

Shinta Nuriyah Wahid

Sitok Srengenge

Slamet Gundono

Sondang

Sri Malela Mahegarsari

St. Sunardi

Stanley Adi Prasetyo

Stanley R. Rambitan

Sudarto

Suryadi Radjab

Susanto Pudjomartono

Syafiq Hasyim

Syamsurizal Panggabean

Sylvana Ranti-Apituley

Sylvia Tiwon

Tan Lioe Le

Taufik Abdullah

Taufik Adnan Amal

TGH Imran Anwar

TGH Subki Sasaki

Tjiu Hwa Jioe

Tjutje Mansuela H.

Todung Mulya Lubis

Tommy Singh

Toriq Hadad

Tri Agus S. Siswowiharjo

Trisno S. Sutanto

Uli Parulian Sihombing

Ulil Abshar-Abdalla

Usman Hamid

Utomo Dananjaya

Victor Siagian

Vincentius Tony V.V.Z

Wahyu Andre Maryono

Wahyu Effendi

Wahyu Kurnia I

Wardah Hafiz

Wiwin Siti Aminah Rohmawati

WS Rendra

Wuri Handayani

Yanti Muchtar

Yayah Nurmaliah

Yenni Rosa Damayanti

Yenny Zannuba Wahid

Yohanes Sulaiman

Yosef Adventus Febri P.

Yosef Krismantoyo

Yudi Latif

Yuyun Rindiastuti

Zacky Khairul Umam

Zaim Rofiqi

Zainun Kamal

Zakky Mubarok

Zuhairi Misrawi

Zulkifli Lubis

Zuly Qodir

Hadiri Apel Akbar, 1 Juni 2008 Pukul 13.00-16.00 WIB di Lapangan MONAS – JAKARTA

Sihir sejarahmu senjakala sudah

Kubur wajah rendah diri itu, kubur warisan tolol itu…

Aku mampu mengubah:

tambang peradaban-inilah namaku

(Adonis, Waqt bayn al-Ramâd wa al-Ward, 2004:12)

Pada mulanya adalah kekalahan. Pada Juni 1967, hujan peluru membanjiri Perang Enam Hari dunia Arab melawan Israel. Inilah perang yang menentukan segalanya. Nasionalisme kerakyatan yang kemudian masyhur dengan Nasserisme, akibat pengaruh Gamal Abdel Nasser, yang sempat membikin gairah kebangkitan bangsa Arab era 1950-an hingga 1960-an, bertekuk lutut menderai air mata.

Pasca-1967 adalah petanda krisis mentalitas Arab. Mulailah, ramai diperbincangkan revitalisasi “tradisi”.

Yang tradisionalis memaksa untuk kembali ke otentisitas Islam sebagai warisan utama Arab. Yang neomodernis berupaya mendialogkan warisan tradisi dengan ide-ide kemajuan dari Barat. Bahkan, ada pula yang sekuler: mendekonstruksi tradisi dan mengambil inspirasi kemajuan Barat. Mulai saat itulah hingga kini, kita mengenal pemikiran brilian dari Adonis, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zayd, dan seterusnya.

Bagi ’Ali Ahmad Sa’id Asbar, nama asli Adonis, seorang sastrawan Arab kontemporer, krisis pascaperang hanya sebuah koinsiden. Mengenai genealogi keterpurukan bangsa Arab, Adonis punya preseden tersendiri. Yakni kala Adonis meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari era Jahiliah hingga modern. Mulai dari ‘Imru al-Qays hingga Kahlil Gibran, dan membikin buku yang berjilid-jilid dalam Antologi Puisi Arab di awal 1960-an.

Temuan Adonis mencengangkan. Hampir mayoritas produk puisi Arab—yang kita maklumi sebagai intisari karya sastra Arab—mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu. Stilistika dan bentuk puisi Arab manut pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat.

Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreatif, dan dinamis, situasi itu membuat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai kemunduran sastra menjadi ayat bagi kemerosotan budaya yang dipegang oleh mayoritas kemapanan yang statis.

Kritik budaya

Maka, peristiwa 1967 pun menjadi titik balik pula bagi kreativitas Adonis. Karya puisinya yang terbit setelah tahun krisis itu, “Waktu di Antara Abu dan Mawar”, menjadi “baru” sekaligus kritik tajam dan paling berani atas kebudayaan Arab. Mulailah ia meneropong kebudayaan Arab secara keseluruhan, hingga menjadi sebuah disertasi dengan kajian fenomenologis dalam kebudayaan Arab.

Ia membagi kajiannya dalam dua konsep, “yang statis” dan “yang dinamis”, sebagai kecenderungan dua “mazhab” yang bertentangan. Ia menegaskan, baik yang klasik maupun yang modern, menentang “budaya liberal”. Ia melihat kecenderungan ini dalam pemikiran para sarjana Arab klasik dan modern.

Kehidupan Arab tak akan pernah mencapai kemajuan, menurut Adonis, dan tidak dapat mencipta kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab diubah sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu.

Dekonstruksi budaya tidak dilakukan melalui instrumen lain kecuali lewat tradisi itu sendiri. Dalam Deklarasi ke Arah Kebudayaan Arab Baru (1980), Adonis menyerukan untuk membebaskan Arab dari setiap bentuk tradisionalisme, mendesakralisasi masa lalu dan menganggapnya sebagai pengalaman serta pengetahuan yang tak mengikat secara mutlak.

Manifesto modernitas

Adonis menolak nilai-nilai statis dalam membangun tradisi sastra dan budaya. Ia meredefinisi puisi secara prestisius sebagai “visi untuk mengubah dunia”. Dengan mencipta kebaruan dalam ekspresi sastra, Adonis membangun pembaruan dalam kesusastraan yang membuat dirinya sebagai “juru bicara” sastra Arab kontemporer. Visi tersebut berujung pada pembentukan identitas dan kebudayaan baru berdasarkan kebebasan berekspresi dan perubahan yang mencerahkan.

Meski Adonis mengkaji kekuatan inovasi pada gerakan revolusioner (Khawarij dan Qaramith), pemikiran rasional (Mu’tazilah dan sarjana lainnya), dan tasawuf (gerakan esoterisme menentang formalitas syari’ah), tetapi tampaknya Adonis lebih banyak menyoroti kecenderungan kreatif sastra (puisi) untuk meneropong perubahan kebudayaan.

Puisi bagi Adonis adalah “upaya menciptakan dunia baru dengan cara melemparkan masa kini ke masa depan atau membuka pintu-pintu masa kini untuk menerawang masa depan.

Lebih lanjut dalam Zaman Puisi (1972), ia menyatakan, “puisi baru merupakan metafisika eksistensi kemanusiaan; pujangga besar ialah perubah, bukan hanyut dalam keheningan (statis)”. Sebagaimana TS Elliot dalam sastra Inggris, Adonis memang pencipta genre dan mazhab baru serta kritikus sastra Arab yang amat ulung.

Nobel sastra

Adonis, yang beberapa kali dinobatkan sebagai calon peraih Nobel Sastra, menganggap kesusastraan sebagai politis. Dalam manifesto modernitasnya, Adonis meyakini bahwa kesusastraan dapat mengubah dunia secara revolusioner, dengan seorang pujangga memainkan peran utama di dalamnya.

Kreativitas dilihatnya sebagai bukti kebesaran manusia bahwa ia makhluk kreatif. Zaman kreasi ialah dialektika antara yang lahir dan yang batin. Manusia mulai mempersonifikasikan sesuatu yang gaib.

Keyakinan Adonis untuk mengubah kebudayaan diperlukan kreator-kreator yang transformatif. Mereka yang memerankan diri sebagai ubermensch yang mampu menggelorakan spirit zaman. Ia mendeklarasikan diri sebagai kreator itu sendiri. Ia banyak dipuja, tetapi karena itu pula ia banyak dicela.

“Aku menulis dalam bahasa yang mengasingkanku,” ungkap Adonis.

Ya, memang, ia hijrah dari Suriah ke Lebanon terus ke Paris karena tekanan politik, penolakan ide-ide liberalnya serta prahara perang saudara yang menyekam api. Tetapi, ia tak pernah puas berkarya.

Karyanya adalah simbol kreativitas dan perubahan itu sendiri. Adonis, dialah sang penyair-filsuf yang menggegerkan Arab. Ia pembawa kredo dinamis bagi arti sebuah kebebasan, kemanusiaan, dan kemajuan peradaban sebagaimana ia buktikan sebelumnya sebagai pemimpin gerakan “sastra pembebasan” (syi’r hurr) era 1950-an hingga 1960-an.

Ia berseru: liber, libera, phallus….

Zacky Khairul Umam, Program Studi Arab Universitas Indonesia; Cak Tarno Institute
Kompas, 15 Desember 2007

Bisnis Indonesia, Sabtu, 15/12/2007
Berkah empiris demokrasi muslim

Sifat muslim Indonesia yang memiliki ‘civil’, ‘keadaban demokratis’ ataupun ‘demokrasi keadaban’ dalam cerapan Hefner dan Azra (2001) membutuhkan periksa yang lebih kukuh dalam membahas perilaku politik Islam.

Dengan metode empiris, karya Mujani dalam buku Muslim Demokrat (2007) dapat menutup kekurangan pandangan normatif dan akan lebih sampai pada hasil yang relatif konklusif mengenai hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia yang langsung diamati dari lapangan. Mujani menantang pelbagai hasil riset dan kajian ilmiah yang kerap jatuh pada simpulan esensialis bahwa Islam tidak bisa berdampingan secara damai dengan perkembangan demokrasi.

Demokrasi & ‘kesalehan’

Mujani menjelaskan hubungan positif antara Islam dan demokrasi dalam kasus muslim Indonesia pasca-Orde Baru menunjukkan realitas yang sebenarnya. Melalui pengukuran modal sosial, toleransi politik, keterlibatan politik dan kepercayaan pada institusi politik, dukungan terhadap sistem demokrasi, partisipasi politik, serta kesesuaian antara Islam dan demokrasi, indeks demokrasi muslim Indonesia pasca-Orde Baru bertumbuh baik.

Pengukuran unsur Islam dan unsur demokrasi yang dianalisis secara bersamaan, lebih menunjukkan korelasi yang tidak negatif dan signifikan. Tesis Mujani, ‘semakin saleh umat muslim Indonesia, semakin kuat pula mengikuti agenda demokratisasi’.

Yang ditunjukkan jemaah NU, Muhammadiyah, dan entitas Islam lainnya, selain saleh beribadah ialah sebentuk ‘ikatan kewargaan’ yang bermanfaat bagi modal sosial dan partisipasi politik dalam keadaban demokratis. Demikian halnya dengan kenyataan Islamisme, yang vokal bersuara syariahisasi politik, sementara masih menunjukkan sikap yang positif terhadap demokrasi dengan catatan bahwa fenomena Islamisme banyak lahir dari kalangan masyarakat menengah kota, berpendidikan, dan berstatus ekonomi yang cukup mapan.

Konsep dar al-Islam (negara Islam) dan kekhalifahan ideal (khilafah) yang cenderung menjauhkan kaum muslim dari negara-bangsa sebagai komunitas politiknya tampaknya terlalu berlebihan. Kelompok-kelompok Islamis Indonesia terpecah-pecah. Sebagian kelompok cenderung membayangkan gagasan politik Islam ideal mereka mengatasi nasionalisme, sementara sebagian yang lain mengembangkan gagasan dengan tetap berada terlibat di dalam negara. Di masyarakat, kelompok kedua lebih berpengaruh secara signifikan daripada yang pertama.

Fenomena demokrat religius ini menunjukkan betapa demokrasi menjadi sebuah berkah berharga bagi tumbuhnya kesadaran beragama dan berwarga sekaligus. Lebih dari sebuah ajaran-ajaran yang kerap identik dengan ‘ortodoksi’ keagamaan yang kolot, temuan tersebut menggambarkan aksi berdemokrasi sebagai bagian dari ‘ortopraksis’ alias wujud kesalehan, minimal dilihat dari perasaan pentingnya keterlibatan diri dalam menentukan proses politik (eficacy) dan partisipasi politik.

Masih terlalu dini untuk memberhalakan metode empiris yang relatif konklusif tentang kesesuaian Islam dan demokrasi, karena bagaimanapun hasil telaah tekun ini terbatas pada rentang waktu yang belum tentu bisa menduga masa depan demokra-tisasi muslim Nusantara. Perlu dilakukan survei demokrasi lokal secara berkala agar bisa menjaga harapan dan kenyataan watak budaya muslim.

Saya menangkap dua kritik penting. Pertama, betapa pun akurat dan detailnya hasil temuan ini tetap tidak bisa menunjukkan budaya demokratis secara substansial. Misalnya, prosedur demokrasi memberikan gerak leluasa bagi kaum Islamis yang cenderung fundamentalistik justru dengan mengklaim ia demokratis melalui partisipasi politik. Lalu apa makna demokrasi ketika dijadikan prosedur sementara untuk, misalnya, mengegolkan gairah hukum agama dalam hukum positif yang tidak ramah perempuan dan monolitik?

Amsal lain, Konferensi Khilafah Internasional yang pernah digelar Hizbut Tahrir Indonesia tidak cukup membuktikan budaya demokratis hanya dengan usungan jargon dan janji yang membela pluralisme. Meskipun gerakan ini menggunakan cara partai politik, tetapi pada prinsipnya sangat jauh dari nalar demokrasi yang menisbikan ‘kedaulatan rakyat’ dengan mencibirnya sebagai penghinaan terhadap ‘kedaulatan Tuhan’.

Selubung keraguan penulis dengan hanya melihat demokrasi prosedural akan terjebak dalam kedangkalan menelisik pandangan dan karakter sesungguhnya dari ideologi Islamisme yang belakangan terus bertumbuhan di Indonesia.

Apalagi, Mujani menyangsikan reartikulasi ijma, ikhtilaf, syura, dan ijtihad yang substantif dengan napas demokrasi, dengan menganggapnya berlebihan. Justru melalui kajian kualitatif untuk terus mengontekstualisasi doktrin-doktrin mendasar Islam meniscayakan tumbuhnya psychological striking force-‘kekuatan pendorong dari dalam’, meminjam ungkapan Cak Nur-terhadap perkembangan zaman, yang penyebarannya bisa dilakukan oleh para kyai, agamawan, cendekiawan, dan seterusnya.

Kedua, keraguan Mujani akan masa depan peradaban muslim Indonesia bisa dipertanyakan. Dalam kata-katanya sendiri, ‘… Indonesia bukan merupakan salah satu dari pusat peradaban Islam, ia berada di pinggiran. Karenanya, temuan ini tidak berarti menggugurkan tesis utama mengenai korelasi negatif antara Islam dan demokrasi, karena mayoritas negara yang penduduknya muslim masih belum demokratis’. Alih-alih, pernyataan ini mengurangi kesahihan budaya demokratis yang ia kaji untuk pengembangan peradaban ke depan.

Kita gunakan logika terbalik. Justru melalui kepercayaan diri umat muslim Indonesia yang bisa berbahagia dengan pluralitas secara demokratis-dengan tidak masuk pada pendulum negara agama seperti Arab Saudi atau sekularisme seperti Turki, alias netral agama-bisa membentuk sebuah mozaik yang menemukan dunianya sendiri yang tidak perlu dianggap pinggiran (altermundialista).

Tentu saja akibat dari perubahan global-regional dan gairah perubahan nasional. Semesta simbolik dengan budaya demokratis-religius di dalamnya, karena itu, yang membedakan Indonesia dengan dunia muslim lainnya.

====
(sengaja kuperpendek, sudah kutunggu media besar memuat ini dalam rubrik ulasan bukunya, gara-gara demo MMI dan FPI ke koran tersebut, imbasnya sampai ke artikelku juga yang ini, padahal mereka mendemo sebuah artikel sang pakar yang saya tidak diberi tahu siapa pakar tersebut oleh redakturnya; oh, mas, jangan takut pada ‘kegalakan’ yang berkedok agama itu)

Hakulyakin, andaikala dibuat sebuah survei penelitian tentang seberapa besar minat dan animo masyarakat Indonesia untuk mengunjungi museum-museum di setiap daerah masing-masing, secuil harapan untuk hasil yang memuaskan. Kenyataan ini kita hadapi dalam keseharian. Miris memang. Jangankan masyarakat umum, kaum intelektual, akademisi, para mahasiswa dan siswa pun jarang yang mempunyai keinginan besar untuk, minimal, menengok museum. Yang kita perhatikan selalu budayawan atau peneliti yang berkepentingan saja, selain para wisatawan. Tentang para mahasiswa dan siswa yang berziarah ke museum kebanyakan mau karena dipaksa dan terpaksa oleh tugas ilmiah, dan peran dosen atau pendidik amat dominan di sini.

Kecilnya minat mengunjungi museum menyebabkan perhatian pada tempat pemulasaraan budaya ini menjadi minim. Kunjungan karena terpaksa menjadi rutinitas. Museum hanya penuh saban tahun oleh suatu kebiasaan rutin itu. Entah karena tugas ilmiah, rekreasi akhir tahun, atau hanya karena memenuhi festival budaya pada perayaan hari besar atau momen spesial tertentu. Di Jakarta pun demikian, bentangan museum yang menyimpan artefak dan perjalanan sejarah kebanyakan hanya diminati karena faktor rutinitas itu. Saksikan saja sendiri di Museum Fatahillah, Museum Gajah, Museum Bahari, dan seterusnya. Ibukota sebagai parameter dalam mencerap nilai-nilai budaya nasional amat kurang memperhatikan pembangunan ini. Jika perhatian kurang, bagaimana mau membangun sebuah pusat kebudayaan dan peradaban bangsa? Bangsa yang tak tekun memilin keluhuran budaya sebagai kebanggaan, tak pernah mampu untuk menunjukkan identitas dirinya.

Keganjilan lain terjadi. Minggu lalu (20 November), kepala Museum Radya Pustaka, Solo Jawa Tengah, KRH Darmodipuro yang telah berusia 69 tahun ditahan gara-gara kasus pemalsuan dan pencurian koleksi museum yang dipimpinnya. Lima buah arca batu buatan abad IV-IX telah dijual ke pihak lain dengan harga hingga ratusan juta rupiah. Beberapa hari berikutnya, arca-arca tersebut ditemukan dari seorang pengusaha Jakarta, yang mengklaim bahwa benda bersejarah tersebut dibeli dari lelang luar negeri dan atas dasar kecintaan terhadap nusantara. Kasus seperti ini bukan kasus yang sekali terjadi. Bisa jadi, ada banyak kasus lain yang tak terungkap karena rapinya persekongkolan antara pemulasara museum, pihak aparat keamanan, para pialang, dan para bisnisman barang antik itu sendiri. Peristiwa di Museum Radya Pustaka tersebut harusnya menjadi preseden tentang rawannya artefak kebudayaan yang mudah raib, karena bernilai jual sangat mahal.

Jaminankah, tertangkapnya sang kepala museum yang blunder akibat ulahnya, hal itu tak akan terulang dengan kasus-kasus lain? Tidak selalu demikian. Kemungkinan berulangnya kejadian tersebut tetap saja terbuka, selagi kesempatan ada. Menghukum perbuatan kriminal kepada seseorang tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah. Yaitu, penghargaan terhadap aspek sejarah dan budaya. Selagi tabiat bangsa ini masih belum berubah dalam hal penghargaan atas kebudayaan, tidak akan menjadi jaminan bahwa sebuah museum atau jejak-jejak peradaban masa lalu akan terus terawat. Bahkan mungkin bisa hilang dari memori masyarakat. Karena minim informasi misalnya. Atau ketiadaan akses yang mencukupi untuk memasuki wilayah ‘cagar budaya’ ini. Miskin informasi boleh jadi yang utama. Lebih fakir lagi kala keterbatasan akses masyarakat untuk melangkah memasukinya dipagari oleh ketentuan-ketentuan yang terlalu birokratis. Lebih sengsara lagi, pemandangan yang tidak enak dinikmati karena saking kunonya sebuah museum, hingga penuh dengan debu yang bergulung-gulung dan penuh dengan habitat makhluk-makhluk tertentu.

Intisari terbengkalainya sebuah museum bukan berada di luar diri kita, yaitu kesediaan kita untuk menghargai kebudayaan kita sendiri; kesediaan kita untuk menjejak moyang kita dulu. Atau apa yang saya sebut dengan ‘politik handarbeni’. Suatu bangsa yang tidak memasang sauh kehidupannya pada dirinya sendiri, berarti ia tidak merasa memiliki. Gampang contohnya, nilai-nilai tradisi yang tidak dikembangkan berarti kita tidak mampu mengupayakan memilikinya lagi. Atau lagu-lagu daerah, seperti Rasa Sayange, alat musik tradisional seperti angklung, atau pakaian tradisional yang adiluhung seperti batik. Kenapa rasa kepemilikian itu baru terbentuk saat bangsa lain mengklaimnya? Begitu telatkah kita bangun pagi hingga barang-barang yang kita simpan dalam wisma kita raib begitu saja akibat keteledoran kita? Ini kita artikan sebagai ketakarifan kultural. Kalau kearifan kultural berarti segala upaya untuk memberikan jangkar pada hulu hingga hilir kebudayaan kita sendiri, sementara ketakarifan merupakan sebaliknya. Kearifan model ini bukan berarti sebuah ‘eksklusi’ atau penyangkalan universalitas nilai-nilai, melainkan sebuah ketahanan budaya terkait dengan cara pandang kita atas diri kita sendiri: tentang budaya, masa kini, masa lalu, hingga proyeksi masa mendatangnya.

Ketakarifan seperti ini lebih jauh merupakan penyangkalan diri ‘self-denial’. Suatu patologi yang wajar kala terjadi kebencian terhadap yang lain alias heterofob, tetapi menjadi sangat tidak wajar jika kita benci pada diri kita sendiri, autofobia, pada budaya kita sendiri. Hatta berani menjualnya ke pihak lain, entah asing maupun domestik. Benda-benda bersejarah memang sebuah komoditas yang layak diambil keuntungannya selagi wajar dipergunakan untuk melestarikannya. Sebaliknya, ia bukan barang sembarangan yang bisa dilempar keluar dari tempat persemayamannya. Ia merupakan barang yang dilindungi kecerlangan lokal dan hukum nasional.

Menilik kembali fungsi museum, kita sadar bahwa kita bangsa yang tertinggal. Kita sangat takzim saat peneliti atau ilmuwan asing begitu bangga melihat sebuah artefak budaya, hingga dirawat, terlebih lagi dikuak unsur-unsur pengetahuan arkeologis-historis di dalamnya. Orang asing begitu setia menekuni secara telaten saat meneliti sebuah peninggalan sejarah dan budaya. Kecintaan terhadap kemanusiaan dan pengetahuan membawa pada kearifan kultural yang luar biasa. Fakta kemajuan bangsa didukung oleh kepeduliannya pada aspek ini sudah tidak dimungkiri lagi. Di manapun, di negara maju di dunia ini, penghargaan atas aspek budaya amat tinggi, pemulasaraan atas museum-museum terawat dengan baik dan indah, serta masyarakatnya gemar berkunjung ke dalamnya. Bahkan tak sekadar sebuah rekreasi. Bahkan sebuah apresiasi.

Robohnya ‘museum kami’ merupakan tinanda petaka. Tahap pertama, sang penjaga museum lalai akan tugasnya, jadilah ia pagar makan tanaman. Tahap petaka yang lebih besar ialah hilangnya martabat warisan sejarah dan kebudayaan dari lubuk kesadaran kita. Maka jika tak ingin terjadi sebuah krisis identitas kebangsaan, sadarlah bahwa kita kehilangan kepekaan untuk meraut pangkal kepedulian kita yang semakin menumpul. Cukuplah museum menjadi penegur kita, barang kali ini saja, untuk selamanya. Bangunkan ia menjadi sebuah ruang peradaban tempat kita merenung, menelaah, dan menggelontorkan spirit perubahan nasib. Di sana tempat berlabuh kearifan kultural kita hingga: langgeng di hati, lestari di bumi.

Media Indonesia, 29 November 2007

Oleh Zacky Khairul Umam

Bebasnya Adelin Lis dari jerat pembalakan liar ialah preseden buruk penegakan hukum. Ironisnya, kini sang buronan sedang dikejar-kejar dengan jerat pencucian uang. Mata publik terbelalak keheranan. Kesinergisan para aparat penegak hukum sedang diuji: kompakkah mereka menangani kasus yang bukan saja merusak lingkungan, tetapi sangat merugikan masyarakat luas?

Kadang dunia politik dan hukum tak bisa ditebak secara linear. Hari ini mendengungkan keadilan, besoknya meneriakkan kepicikan. Siang ini penuh dengan keberanian, di waktu malam sarat dengan keculasan. Nasib orang bisa dipertahankan dengan citra yang baik, dalam nalar politik dan hukum Hobbesian, asalkan dunia “di balik bawah meja” menyelesaikan segalanya. Para kritikus yang jeli bilang, UUD (ujung-ujungnya duit) menjadi konstitusi yang dipatuhi karena bertaburan dengan menyan-menyan metarialistik yang melenakan.

Dalam konteks ini, apakah komitmen politik lingkungan (green politics) yang sudah sering dilemparkan ke muka publik memiliki keampuhan politik dan hukum? Sesungguhnya, yang bisa dijadikan jaminan hanya satu: integritas moral dan kredibilitas profesional. Jadi, komitmen penegakkan politik lingkungan sejajar dengan seberapa jauh kekuatan moralitas ditegakkan. Dalam ekologi, moralitas juga mengacu pada bagaimana manusia melihat persoalan lingkungan sebagai krisis eksistensial yang kembali pada dirinya. Pertanyaan yang layak: masihkah sadar dalam lubuk moral kala menyaksikan kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan esok, dan bahkan berimbas jangka panjang? Yang rugi, jelas, manusia itu sendiri. Siapa yang tidak menyadari hal ini logikanya menjadi tidak waras.

“Green wash” dan “ecocide”

“Kewarasan” bagi para penjahat lingkungan terletak ada bagaimana memperoleh sebanyak mungkin manfaat dari alam dengan tanpa mempertimbangkan daya dukung, kelestarian, dan keadaan sosial-budayanya. Yang ada di pikirannya bagaimana supaya “uang” berkuasa atas “ruang”. Kondisi ini memosisikan alam sebagai titik yang periferal, subordinat, di bawah kendali “keakuan” ( cogito) yang terlalu mendambakan manusia sebagai penakluk. Keakuan manusia ini membikin dirinya menjadi diktator atas objek. Objek alam demikian dianggap tak berdaya, karena manusia merupakan pusat segalanya yang berhak mengatur sesuai dengan rasio murni. Bahkan dengan hantam krama.

Penundukkan atas alam merupakan warisan paling kentara dari mekanisme industrialisasi dengan semangat eksploitatif. Kegagalan modernitas tertumpu pada titik ini. Yakni, tiadanya rem pengetahuan dan kesadaran yang mencekal setiap kebengisan atas eksploitasi alam. Tapi kenapa, kejadian yang seharusnya bisa ditekan sejak lama ini masih merajalela? Di saat negara-negara maju yang sadar lingkungan, hitunglah Norwegia atau Jerman, di tengah keterpacuan untuk menyelamatkan bumi dari global warming, politik negara berkembang seperti Indonesia masih infantil dalam menyikapi lingkungan.

Politik gagal menekan laju holocaust terhadap lingkungan. Sistem birokratis dan tatanan hukumnya masih gagap melihat kejahatan terbesar abad ke-21: green wash. Keinfantilan itu lebih luas merupakan sikap serba medioker para politisi di belantara hutan rimba politik. Bahkan keadaan yang tak arif ekologis ini sebenarnya jika dilihat kadar ketakberadabannya lebih seram dari hutan rimba sekalipun. Jika benar-benar tidak diambil tindakan luar biasa, telos keadaban ekologis tak pernah hadir.

Kondisi ecocide atau pembunuhan ekologis merupakan kematian dari kebestarian manusia untuk kelestarian lingkungan. Dan dalam sistem operasionalnya, ecocide melibatkan jejaring subjek yang terlibat di dalamnya, seperti para pebinis domestik atau global beserta kepentingan kapitalismenya, aparat penegak hukum dan dunia politik, serta para “pembajak kecil” dari masyarakat yang dibayar dan dipelihara. Sehingga memutus mata rantai ecocide tak pernah bisa dilakukan melalui satu subjek saja, seperti memburu para taipan yang membalak hutan secara liar. Persoalannya memang menjadi kompleks. Sistem pembalakan liar tidak bisa dihilangkan dengan menghukum pelaku otaknya, sementara mentalitas masyarakatnya masih belum berubah. Lebih parah lagi, para penegak hukumnya belum tersadarkan. Dari akar hingga rantingnya, atau dari hulu hingga hilir jejaring ecocide harus diperhatikan.

Demokrasi bumi

Politik lingkungan akhirnya tak bisa dianggap sepele. Ia membutuhkan ketegasan dalam membikin regulasi hingga pelaksanaan di lapangan. Sudah saatnya politik lingkungan tidak dianggap sebagai komoditas menjelang pemilu saja, yang terkesan sebagai jualan tak penting. Bahkan kalau perlu kehadiran parpol lingkungan ( green party) menjadi keharusan, jika tidak dengan merevitalisasi parpol yang ada untuk giat dan tekun mengurusi kerusakan lingkungan sebagai krisis nasional. Tekad sebuah parpol, dengan kewajiban “setiap kader menanam sebuah pohon”, perlu diikuti dan tak cuman politik gincu saja.

Sepertinya, makna demokrasi kita mesti diperluas, dari sekadar interaksi politik antarmanusia menjadi kesadaran interpersonal kemanusiaan dengan semesta lingkungan. Inilah proliferasi demokrasi yang ditanam filsuf-feminis Vandana Shiva dengan earth democracy (demokrasi bumi). Bilik-bilik suara dan mandat dalam demokrasi juga diarahkan untuk menjadi advokasi politik emansipatoris terhadap isu-isu ekologis. Kampanye tak sekadar imagologi dan demagogi, tapi bagaimana caranya menjadi praksis yang memedulikan lingkungan. Kitalah yang akan menjadi moyang di kemudian hari tentang bagaimana memperlakukan nasib bumi ini. Cukuplah destruksi politik yang maskulin atas lingkungan diakhiri, karena, dalam pikiran Shiva, memperlakukan bumi sejatinya melalui akhlak yang feminin, yang penuh welas asih. Di sinilah saya menekankan: the ecology is political.

Seputar Indonesia Sore, 23 Nopember 2007